Algoritma, Popularitas, dan Runtuhnya Otoritas Ilmu.

oleh -49 Dilihat
oleh

Sebuah Catatan oleh : Mustova Namsa, M.Pd/Fungsionaris KNPI Maluku

Kita hidup di zaman yang penuh ironi. Di satu sisi, kemajuan teknologi informasi membuka akses terhadap pengetahuan yang nyaris tak terbatas. Jurnal ilmiah, buku akademik, laporan riset, dan data publik tersedia luas dan dapat diakses oleh siapa saja. Namun di sisi lain, justru pada era kelimpahan informasi inilah kepakaran semakin kehilangan tempatnya di ruang publik. Media sosial, yang awalnya dipandang sebagai sarana demokratisasi pengetahuan, kini kerap berubah menjadi panggung di mana popularitas mengalahkan kebenaran.

Dalam lanskap digital hari ini, algoritma bekerja lebih dominan daripada nalar. Ukuran kebenaran bergeser dari kekuatan argumen dan ketepatan data menjadi jumlah pengikut, tingkat keterlibatan, dan potensi viral. Siapa yang paling ramai, paling emosional, dan paling sering muncul di linimasa, dialah yang dianggap paling benar. Popularitas menjadi legitimasi, sementara kepakaran dipandang sekadar opini yang setara dengan pendapat siapa pun.

Fenomena ini semakin nyata dalam diskursus publik tentang isu-isu krusial, seperti kesehatan, pendidikan, ekonomi, lingkungan, hingga kebijakan negara. Tidak jarang, perdebatan penting justru dipimpin oleh figur-figur populer yang tidak memiliki latar belakang keilmuan yang memadai. Mereka berbicara dengan penuh keyakinan tentang persoalan kompleks, menyederhanakan masalah yang seharusnya dipahami secara hati-hati, dan menawarkan solusi instan yang terdengar meyakinkan, meski miskin dasar ilmiah.

Ironisnya, opini-opini semacam ini sering kali diterima tanpa kritik. Publik lebih mudah percaya karena pesan disampaikan dengan bahasa sederhana, emosional, dan terasa dekat dengan pengalaman sehari-hari. Sementara itu, penjelasan ilmiah yang berbasis data, penuh kehati-hatian, dan sering kali disertai catatan ketidakpastian justru dianggap bertele-tele, kaku, atau tidak membumi. Dalam situasi seperti ini, ilmu pengetahuan kalah bukan karena salah, tetapi karena tidak cukup “menjual”.

Di sisi lain, para akademisi, peneliti, dan praktisi yang mengabdikan hidupnya pada ilmu pengetahuan justru semakin terpinggirkan dari ruang publik. Bertahun-tahun melakukan riset, menulis jurnal ilmiah, mengikuti etika keilmuan, dan menjaga integritas intelektual tidak menjamin mereka memiliki panggung yang setara di media sosial. Kerja ilmiah yang lambat, metodologis, dan penuh verifikasi sulit bersaing dengan konten instan yang diproduksi untuk mengejar perhatian.

Lebih tragis lagi, ketika para pakar mencoba hadir di ruang publik untuk meluruskan informasi atau memberikan konteks yang lebih utuh, mereka sering kali justru diserang. Cap elitis, sok pintar, tidak pro rakyat, atau tidak peka terhadap realitas sosial dengan mudah dilekatkan. Fakta dianggap dingin dan tidak berempati, sementara opini keliru yang dibungkus dengan emosi justru dipuja. Dalam kondisi ini, pengetahuan tidak hanya kehilangan otoritas, tetapi juga kehilangan legitimasi moral.

Ancaman terbesar dari fenomena ini adalah normalisasi disinformasi. Ketika informasi keliru disebarkan dengan penuh percaya diri dan diterima tanpa sikap kritis, kebodohan tidak lagi dianggap sebagai masalah, melainkan identitas yang dibela bersama. Media sosial mempercepat proses ini melalui algoritma yang memprioritaskan keterlibatan, bukan kebenaran. Konten yang memicu kemarahan, ketakutan, atau kebanggaan sempit lebih mudah menyebar dibandingkan penjelasan ilmiah yang menuntut kesabaran dan refleksi.

Disinformasi yang terus-menerus dikonsumsi bukan hanya menyesatkan, tetapi juga membentuk cara berpikir. Publik terbiasa dengan jawaban sederhana untuk persoalan rumit, curiga terhadap data, dan alergi terhadap argumen yang tidak sesuai dengan keyakinan awal. Dalam jangka panjang, kondisi ini melahirkan masyarakat yang miskin nalar kritis dan mudah dimobilisasi oleh emosi.

Dampak dari situasi ini tidak berhenti pada ranah wacana. Ketika opini publik dibentuk oleh informasi yang salah, konsekuensinya merembet ke pengambilan keputusan kolektif. Masyarakat dapat terdorong menolak sains, meremehkan kebijakan berbasis data, atau mempercayai solusi semu yang justru memperparah persoalan. Demokrasi yang seharusnya bertumpu pada rasionalitas publik perlahan berubah menjadi arena adu persepsi dan sentimen.

Namun, menyalahkan influencer semata tentu tidak adil dan tidak menyelesaikan persoalan. Media sosial pada dasarnya hanyalah alat. Persoalan yang lebih mendasar terletak pada rendahnya literasi digital dan kegagalan kolektif kita membangun budaya berpikir kritis. Kita terbiasa mengonsumsi informasi secara cepat, dangkal, dan reaktif. Kita jarang bertanya: dari mana data ini berasal? siapa yang berbicara? apa kepentingannya?

Budaya popularitas yang kita rawat bersama telah membuat kita lebih menghargai siapa yang berbicara daripada apa yang dibicarakan. Kita lebih sibuk memilih kubu daripada memeriksa argumen. Dalam ekosistem seperti ini, kebenaran menjadi relatif, dan ilmu pengetahuan diperlakukan setara dengan opini personal, tanpa mempertimbangkan proses dan tanggung jawab yang menyertainya.

Media massa arus utama memiliki peran strategis dalam menghadapi situasi ini. Media tidak cukup hanya mengejar klik dan trafik, tetapi harus kembali pada fungsi dasarnya sebagai penjaga nalar publik. Verifikasi, konteks, dan keberimbangan tidak boleh dikorbankan demi kecepatan dan sensasi. Ketika media arus utama ikut terjebak dalam logika viral, ruang publik kehilangan salah satu benteng terakhirnya.

Dunia pendidikan juga memikul tanggung jawab besar. Pendidikan tidak boleh berhenti pada transfer pengetahuan, tetapi harus menanamkan kemampuan berpikir kritis, memahami metode ilmiah, dan membedakan antara opini dan fakta. Tanpa bekal ini, generasi muda akan tumbuh sebagai konsumen informasi yang pasif, mudah terpengaruh, dan rentan terhadap manipulasi.

Negara pun tidak bisa absen. Kebijakan publik perlu mendorong penguatan literasi digital dan perlindungan ruang publik dari banjir disinformasi, tanpa jatuh pada pembungkaman kebebasan berekspresi. Tantangan ini memang tidak mudah, tetapi membiarkan ruang publik dikuasai oleh kebisingan tanpa arah jauh lebih berbahaya bagi masa depan bersama.

Mengembalikan kepakaran ke tempat yang semestinya bukan berarti mengultuskan akademisi atau menutup ruang dialog. Kepakaran tidak identik dengan kesombongan, dan ilmu pengetahuan tidak pernah mengklaim kebenaran absolut. Justru sebaliknya, ilmu menyediakan metode terbaik yang kita miliki untuk mendekati kebenaran secara jujur, terbuka, dan bertanggung jawab.

Jika kita terus memuja popularitas tanpa koreksi nalar, maka cepat atau lambat kita akan hidup di dunia di mana influencer menjadi rujukan utama, sementara ilmu pengetahuan terpinggirkan sebagai wacana elitis yang tidak lagi didengar. Pada titik itu, yang kita kehilangan bukan hanya kepakaran, tetapi juga masa depan akal sehat kita sebagai masyarakat.

Tentang Penulis: Admin

Gambar Gravatar
Jurnalis Rasional.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.