Konflik internal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mencapai klimaksnya Rais Aam PBNU, KH Miftachul Ahyar, secara resmi mencopot Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) dari jabatan Ketua Umum melalui Surat Edaran (SE) Nomor 4785/PB.02/A.II.10.01/99/11/2025.
Pencopotan ini dipicu oleh polemik undangan akademikus pro-Israel dan desakan mundur dari Syuriyah PBNU, yang kini disebut-sebut sebagai salah satu krisis kepemimpinan terparah dalam sejarah NU pasca-kemerdekaan.
Berikut adalah 8 Fakta Kunci di balik pergolakan PBNU, berdasarkan kronologi dan dokumen resmi yang beredar :
Pemicu: Undangan Kontroversial Peter Berkowitz
Ketegangan bermula pada Oktober 2025, ketika Gus Yahya mengundang Peter Berkowitz, seorang akademikus AS yang dikenal pro-Israel dan penasihat kebijakan luar negeri di era Trump, untuk sebuah acara diskusi di PBNU.
Syuriyah PBNU menilai tindakan ini bertentangan dengan sikap resmi organisasi yang tegas pro-Palestina, yang kemudian memicu desakan internal.
Desakan Syuriyah Bukan Pemakzulan Formal
Pada 20 November 2025, Syuriyah PBNU, badan pengawas spiritual tertinggi, mengeluarkan risalah yang meminta Gus Yahya mundur.
Alasan yang dikemukakan adalah “ketidaksesuaian visi” dengan fatwa NU yang anti-normalisasi hubungan dengan Israel.
Syuriyah menekankan bahwa ini adalah tekanan moral, bukan proses pemakzulan formal, yang pada akhirnya berujung pada intervensi Rais Aam. Rais Aam PBNU, KH Miftachul Ahyar, secara resmi mencopot Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) dari jabatan Ketua Umum melalui Surat Edaran (SE) Nomor 4785/PB.02/A.II.10.01/99/11/2025.
Pencopotan ini dipicu oleh polemik undangan akademikus pro-Israel dan desakan mundur dari Syuriyah PBNU, yang kini disebut-sebut sebagai salah satu krisis kepemimpinan terparah dalam sejarah NU pasca-kemerdekaan.
Pemicu: Undangan Kontroversial Peter Berkowitz
Ketegangan bermula pada Oktober 2025, ketika Gus Yahya mengundang Peter Berkowitz, seorang akademikus AS yang dikenal pro-Israel dan penasihat kebijakan luar negeri di era Trump, untuk sebuah acara diskusi di PBNU.
Syuriyah PBNU menilai tindakan ini bertentangan dengan sikap resmi organisasi yang tegas pro-Palestina, yang kemudian memicu desakan internal.
Desakan Syuriyah Bukan Pemakzulan Formal
Pada 20 November 2025, Syuriyah PBNU, badan pengawas spiritual tertinggi, mengeluarkan risalah yang meminta Gus Yahya mundur.
Alasan yang dikemukakan adalah “ketidaksesuaian visi” dengan fatwa NU yang anti-normalisasi hubungan dengan Israel.
Syuriyah menekankan bahwa ini adalah tekanan moral, bukan proses pemakzulan formal, yang pada akhirnya berujung pada intervensi Rais Aam.
Penolakan Gus Yahya Memicu Perdebatan
Gus Yahya menolak desakan mundur tersebut pada 23 November, dengan alasan belum menerima surat risalah secara fisik dan mengklaim adanya dukungan dari Tanfidziyah (badan eksekutif) PBNU.
Ia menyatakan, “Saya tetap setia pada PBNU, tapi keputusan ini tidak lazim,” yang kemudian memicu perdebatan sengit di media sosial, termasuk tagar yang sempat viral.
Pencopotan “Paket” Bersama Penasihat Khusus
Surat Edaran Rais Aam tidak hanya menyasar Gus Yahya. Charles Holland Taylor, penasihat khususnya yang berbasis di AS, juga dicopot melalui SE terpisah (Nomor 4780/PB.23/A.II.10.71/99/11/2025) pada 24 November. Taylor dituduh “mempromosikan narasi pro-Israel” melalui keterlibatannya dengan Berkowitz.
Rais Aam Ambil Alih Jabatan Ketua Umum Sementara
Pasca-pencopotan, KH Miftachul Ahyar, Rais Aam PBNU, ditunjuk sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Umum. Keputusan ini diambil untuk “menjaga keutuhan organisasi” hingga Muktamar 2026.
Secara resmi, Gus Yahya dilarang menggunakan semua atribut PBNU, termasuk logo dan gelar resmi.
Dukungan Internal Terpecah: Tanfidziyah vs Syuriyah
Konflik ini membelah NU antara kubu Tanfidziyah (eksekutif, yang sebagian besar pro-Gus Yahya) dan Syuriyah (spiritual, yang menentang undangan Berkowitz).
Meskipun 70% pengurus Tanfidziyah dilaporkan mendukung Gus Yahya, Syuriyah mengklaim mayoritas ulama senior setuju dengan pemecatan. Situasi ini memicu isu “pemecah belah NU” yang ramai diperbincangkan di platform X.
Latar Belakang Geopolitik: Normalisasi Terselubung
Gus Yahya dikenal aktif dalam forum internasional, mengundang tokoh-tokoh Barat untuk dialog. Kritikus Syuriyah melihat ini sebagai “normalisasi terselubung” dengan Israel, terutama setelah fatwa NU 2023 yang secara tegas menolak Zionisme. Peristiwa ini menandai puncak ketegangan internal sejak Gus Yahya terpilih pada 2021.
Dampak Sosial: Demo dan Ancaman Muktamar Luar Biasa
Pencopotan tersebut memicu demonstrasi pendukung Gus Yahya di Jakarta dan Surabaya pada hari yang sama (26 November), menuntut “kembalikan hak Gus Yahya.”
Sementara itu, beberapa kiai senior mulai mendesak diadakannya Muktamar Luar Biasa (Munas) dini pada 2026 sebagai solusi.
Larangan PBNU terhadap Gus Yahya untuk menggunakan gelar “Ketua Umum” merupakan upaya organisasi untuk mencegah perpecahan yang lebih luas.
Semua bermula dari sebuah anugerah yang semestinya membawa kebaikan. Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus seluas 26.000 hektare dari bekas konsesi Kaltim Prima Coal. Nilainya diperkirakan mencapai 150 hingga 160 triliun rupiah. Sebuah kekuatan ekonomi yang sanggup mengubah wajah NU, memperkuat pesantren, meringankan beban warga, dan menjaga martabat jamiyah agar tidak tunduk kepada siapa pun selain Allah dan para ulama.
Namun sejak awal, uang selalu membawa jejak ujian. Sebelum pemerintahan baru terbentuk dan sebelum keputusan apa pun dimatangkan, beredar informasi kuat bahwa ada tiga petinggi yang disebut telah melakukan kesepakatan dengan calon operator tambang dari pihak BT. Disebut pula ada aliran uang muka sebesar 40 hingga 70 miliar rupiah, berikut komitmen politik yang tidak pernah dibicarakan dalam forum resmi maupun dilaporkan kepada struktur yang lebih luas. Di sinilah retakan itu mulai tampak.
Keadaan berubah drastis setelah H. Saifullah Yusuf menjabat Menteri Sosial. Saat konsolidasi kekuasaan di tingkat negara bergeser, Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf berdiri tegak pada satu prinsip dasar: tambang ini amanah negara. Keuntungannya hanya untuk warga NU. Tidak boleh ada satu pun yang mengklaimnya sebagai kepentingan perorangan. Dan yang lebih penting, pengelolaannya wajib berada dalam restu pimpinan tertinggi negara, Presiden Prabowo Subianto. Tanpa restu Presiden, Gus Yahya menolak memikul tanggung jawab apa pun dari tambang tersebut. Titik.
Ketegasan itu membuat suasana berubah. Apa yang semula dianggap kesempatan besar berubah menjadi bara dalam jerami kepentingan. Sebab ketegasan itu memutus jalur yang sudah terlanjur ditempuh sebagian orang. Dilansir dari Inilah.Com Dari desas-desus yang berkembang di kalangan internal, muncul persepsi bahwa Gus Ipul dan Gudfan Arif Ghofur justru memilih mempertahankan ikatan dengan calon operator awal. Melalui Rais Aam, mereka disebut membangun aliansi dengan dukungan institusi penegak hukum dan kekuatan ekonomi dari BT.
Posisi ini dianggap tidak sejalan dengan kebijakan Presiden mengenai perubahan pemegang operator WIUPK. Persepsi ini menguat seiring berbagai langkah yang terkesan diarahkan untuk melemahkan kewenangan Ketua Umum.
Pada titik itu, tambang tidak lagi sekadar tambang. Ia menjelma menjadi medan pertempuran kekuasaan. Segala dalih kemudian diangkat untuk menjatuhkan Ketua Umum: mulai dari persoalan narasumber AKN NU, tuduhan pro-Zionis, sampai isu tata kelola keuangan. Semua digali untuk menggiring opini bahwa Ketua Umum layak disingkirkan. Tetapi siapa pun yang berakal tentu melihat bahwa inti dari semua ini bukan pada tuduhan-tuduhan tersebut. Intinya adalah penolakan terhadap keteguhan untuk menempatkan NU di jalur negara, bukan jalur gelap kepentingan privat.
Ketika akhirnya Rais Aam mengeluarkan risalah pemecatan terhadap Ketua Umum, banyak yang terperanjat. Risalah itu tidak lahir dari mekanisme sah lima tahunan Muktamar ataupun musyawarah besar yang melibatkan struktur jamiyah.
Ia lahir dari tekanan kepentingan yang menyelusup seperti asap ke dalam kamar-kamar keputusan. Dan di sana, warga NU mulai menyadari bahwa ini bukan lagi soal perbedaan pandangan organisasi. Ini sudah soal siapa yang menguasai sumber daya yang nilainya tidak pernah dibayangkan para masayikh ketika mendirikan Nahdlatul Ulama.
Istilah bohir menjadi pembicaraan sehari-hari. Kata ijon tambang, tekanan lembaga, dan permainan uang mulai terdengar bahkan di pesantren yang biasanya hanya dipenuhi lantunan shalawat dan ngaji kitab. Para kiai yang paling tawadhu pun terpaksa mengangkat suara, karena mereka menyadari bahwa marwah jamiyah mulai dipermainkan oleh kekuatan yang tidak terlihat.
Dan warga NU pun bertanya dalam hati: apakah masa depan organisasi ini bisa dipindah-tangankan hanya karena sebuah tanda tangan di ruang gelap? Apakah perjuangan para muassis, yang tidak pernah memungut sepeser pun dari umat, dapat dikalahkan oleh hitungan proyek triliunan yang tidak pernah disyariatkan sejarah?
Konflik ini tidak lahir dari kitab. Tidak tumbuh dari beda manhaj. Tidak muncul dari perdebatan tradisi. Konflik ini lahir dari tambang—dari harta yang seharusnya menjadi berkah untuk umat, tetapi berubah menjadi laknat ketika nafsu ikut campur.
Di tengah badai itu, satu suara tetap tegak menjaga NU berada di rel negara. Gus Yahya memilih berjalan searah dengan Presiden sebagai pemegang mandat tertinggi. Konsisten tanpa tawar-menawar. Karena NU tidak boleh dibajak oleh siapa pun yang menunggangi nama ulama demi proyek pribadi. Keputusan yang menyangkut ratusan triliun rupiah bukan urusan sekelompok orang. Ini hak warga NU. Ini urusan umat.
Pertarungan ini belum selesai. Dan sejarah pasti akan mencatat dengan jernih: siapa yang menjaga NU, dan siapa yang hampir menjualnya.







