Pemerintah Provinsi Maluku sekarang menghadapi persimpangan berat. Di satu sisi muncul rencana tak ringan, mengajukan pinjaman sebesar 1,5 triliun rupiah ke PT SMI guna mendanai proyek pembangunan dan menutup defisit akibat pemangkasan dana transfer pusat. Di sisi lain, justru muncul gejala retaknya kepemimpinan bersama antara Hendrik Lewerissa dan Abdullah Vanath, pasangan kepala daerah yang baru saja menjabat.
Pinjaman dari SMI bukan hal baru di Maluku. Pada periode sebelumnya, pemerintahan terdahulu sempat mengambil utang ratusan miliar. Kini jumlah yang diajukan lebih dari dua kali lipat. Dilansir dari Trending Maluku Legislator di DPRD Provinsi sempat menyuarakan keprihatinan meski membuka cela. Skema dan rencana pemanfaatan dana masih abu-abu, sedangkan beban bunga dan cicilan tetap harus dipikul daerah. Dalam kondisi seperti ini, keputusan meminjam tambahan besar hendaknya disertai perencanaan matang, transparansi, serta jaminan bahwa proyek benar-benar menyentuh masyarakat paling membutuhkan. Itu ketegasan DPRD Maluku yang disampaikan Benhur G Watubun.
Namun perhatian publik kini juga tertuju pada keretakan internal di pucuk pemerintahan. Wakil Gubernur Vanath telah membuka ketegangan secara terbuka, menyebut bahwa dirinya tak dilibatkan dalam pengambilan keputusan penting.
Mulai dari soal disposisi bantuan bagi pendukung, alokasi pejabat birokrasi, dan pembahasan anggaran perubahan. Vanath menyatakan bahwa kesepakatan awal tentang porsi pembagian “70 : 30” antara gubernur dan wakil gubernur dalam pembagian jabatan dan program tidak dijalankan.
Berbeda dengan momentum pertengahan 2025 lalu (Agustus), yang mana Gubernur keluar dan menyampaikan klarifikasi ke media, membantah ada keretakan saat isu yang sama berhembus. Saat itu Gubenur Hendrik menyampakain keretakan itu hanya rumor. Agustus 2025 waktu itu, Gubernur menegaskan bahwa dalam setiap kegiatan publik, keduanya selalu hadir bersama dan bahwa publik tidak perlu dibikin gaduh oleh gosip politik. Pernyataan pada saat itu dimaksudkan meredam kegelisahan warga.
Dalam konteks rencana pinjaman 1,5 triliun, gesekan internal ini memberi sinyal bahaya. Bagaimana mungkin utang berjuta-juta digelontorkan untuk pembangunan, jika otoritas dan keharmonisan pemerintahan sendiri diragukan? Bagaimana potensi penyimpangan, prioritas proyek yang timpang, dan kurangnya kontrol bisa dicegah ketika pimpinan provinsi sendiri tidak lagi “satu barisan”?
Masyarakat Maluku, terutama di pelosok, tentu berhak meminta, jika utang diambil, pastikan digunakan untuk jembatan, jalan, dan layanan dasar, bukan proyek politis atau birokrasi yang diwarnai permainan kekuasaan. Atau kasarnya dalam perbincangan rumah kopi di Ambon, “Jang utang hanya par Bali Tehel Trotoar.”
Dan jika pimpinan sudah retak, hendaknya duduk bersama, jujur di hadapan publik Maluku, dan sepakat menegakkan transparansi. Karena utang kepada SMI bukan hanya tentang pinjaman, melainkan tanggung jawab bersama generasi yang akan datang. Maluku butuh pembangunan, bukan gesekan internal. Utang boleh diambil, tetapi kepercayaan harus tetap terjaga







