Rapat Komisi II DPRD Maluku Memanas, Inspektur Tambang ESDM Dikritik dan PT Batutua Diminta Transparan

oleh -73 Dilihat
oleh

Suasana rapat dengar pendapat (RDP) Komisi II DPRD Provinsi Maluku bersama sejumlah instansi teknis dan pihak perusahaan tambang PT Batutua Tembaga Raya (BTR) memanas, Senin (20/10/2025). Rapat yang digelar di ruang komisi itu membahas persoalan lingkungan dan ketenagakerjaan pasca-insiden patahnya tongkang pengangkut material tambang milik perusahaan di Pulau Wetar, Kabupaten Maluku Barat Daya.

Insiden yang terjadi pada 26 Agustus 2025 tersebut diduga menimbulkan pencemaran laut, matinya ikan, dan kerusakan biota akibat tumpahan material tambang yang bercampur dengan air laut. Sejumlah anggota dewan menilai kejadian itu harus diusut tuntas, termasuk memastikan apakah material yang tumpah mengandung limbah berbahaya.

Ketegangan rapat semakin meningkat setelah Inspektur Tambang Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Maluku, Helena Heumasse, tidak hadir dalam undangan resmi DPRD. Ia baru datang setelah dihubungi langsung oleh staf komisi. Beberapa anggota dewan menilai sikap tersebut tidak menghargai lembaga legislatif. “Dia selalu duduk di rumah kopi Joas, tapi saat kami undang resmi justru tidak hadir,” ujar salah satu anggota komisi dengan nada kesal.

Ketua Komisi II DPRD Maluku, Irawadi, SH, menegaskan bahwa kehadiran pejabat teknis sangat penting dalam pembahasan persoalan publik seperti ini. “Pertama dan terakhir! Ke depan, kalau diundang dan tidak hadir, kami akan tindak tegas sesuai aturan,” tegasnya.

Wakil Ketua Komisi II, Jhon Laipeni, juga meminta agar fungsi Inspektur Tambang dievaluasi. “Kalau Inspektur Tambang Kementerian ESDM Maluku tidak berfungsi, alangkah baiknya ditutup saja atau pimpinannya diganti,” ujarnya.

Dalam rapat yang sama, Komisi II juga menyoroti soal tenaga kerja lokal di PT BTR. Laipeni mempertanyakan klaim perusahaan bahwa 62 persen pekerjanya merupakan warga lokal. Ia menilai angka itu tidak mencerminkan keterlibatan masyarakat dari Kabupaten Maluku Barat Daya, terutama Pulau Wetar. “Yang benar-benar warga lokal asal MBD atau Wetar hanya sekitar dua ratus sampai tiga ratus orang. Sisanya justru banyak dari luar daerah. Ini tidak sesuai dengan komitmen pemberdayaan masyarakat lokal,” kata Laipeni.

DPRD meminta PT BTR menyerahkan data resmi tenaga kerja dan hasil pemeriksaan pasca-insiden tongkang. “Kalau data itu tidak diserahkan, kami akan kejar sampai ke Merdeka Corporation,” tambahnya, merujuk pada induk perusahaan tambang tersebut.

Ketua Komisi II juga mempertanyakan legalitas operasional tongkang yang diketahui telah melakukan 28 kali pemuatan material tambang. “Apakah kapal ini memiliki izin operasi atau tidak? Jangan-jangan tongkang ini sudah tidak layak beroperasi,” ujarnya.

Kepala Dinas ESDM Provinsi Maluku, Abdul Haris, menjelaskan bahwa kewenangan perizinan operasional kapal sepenuhnya berada di tangan Kementerian ESDM. Namun pihaknya akan menelusuri data lapangan dan memastikan dampak lingkungan dari kecelakaan tersebut diinvestigasi secara menyeluruh.

Rapat dengar pendapat yang berlangsung lebih dari tiga jam itu sempat diskors beberapa kali akibat perdebatan sengit antara anggota DPRD, pejabat teknis, dan pihak perusahaan. Komisi II berkomitmen menindaklanjuti hasil rapat dengan rekomendasi resmi kepada pemerintah provinsi dan kementerian terkait agar persoalan lingkungan dan perlindungan tenaga kerja di sektor tambang dapat ditangani secara transparan dan bertanggung jawab.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.