Oleh: Mustova Namsa*
SERANGAN Umum 1 Maret 1949 secara historis merupakan peristiwa yang terjadi dalam rentang waktu yang panjang. Singkatnya, Belanda mengklaim telah meluluhlantakkan Nusantara dan menyatakan bahwa kemerdekaan Indonesia, yang telah diproklamasikan pada 1945, berakhir pada 1949.
Menarik jika dikaitkan dengan kondisi Indonesia saat ini, di mana perjuangan bukan lagi secara fisik, melainkan melalui strategi masing-masing kelompok atau individu. Salah satu contoh yang relevan adalah kebijakan naturalisasi pemain sepak bola untuk memperkuat tim nasional. Susunan pemain tim Garuda saat ini banyak diisi oleh pemain keturunan Belanda-Indonesia, baik dari garis keturunan ibu (matriarki) maupun ayah (patriarki). PSSI, bekerja sama dengan kementerian terkait, telah mengadopsi kebijakan ini demi meningkatkan kualitas sepak bola nasional.
Sejarah mencatat bahwa sejak Piala Dunia pertama pada 1938 di Prancis, pemain pribumi telah terlibat dalam kompetisi internasional, meskipun saat itu Indonesia masih menggunakan nama Hindia-Belanda. Mayoritas pemain saat itu berasal dari bangsa asing. Situasi saat itu mirip dengan kondisi saat ini, di mana banyak pemain asing yang memperkuat tim Garuda melalui proses naturalisasi.
Dari sisi positif, naturalisasi pemain yang dilakukan PSSI dengan persetujuan kementerian terkait dapat membawa dampak signifikan. Dengan pengalaman bermain di liga luar negeri, mereka diharapkan mampu membawa Timnas Indonesia bersaing di level internasional, termasuk dalam ajang Piala Dunia 2026. Saat ini, tim nasional tengah bersiap menghadapi laga kandang dan tandang dalam kualifikasi turnamen tersebut.
Sebagai negara yang berideologi Pancasila, harapan besar tertuju pada tim Garuda untuk mengharumkan nama Indonesia di pentas dunia. Hal ini tentu membanggakan masyarakat Indonesia. Namun, dari perspektif nasionalisme, muncul pertanyaan: apakah keberadaan pemain naturalisasi benar-benar mencerminkan semangat nasionalisme bangsa? Nasionalisme seharusnya muncul dari dalam, dengan komposisi pemain pribumi yang kuat. Jika nasionalisme internal telah terjaga dan tidak ada lagi pertentangan di dalam negeri, maka tugas selanjutnya adalah mempertahankan identitas bangsa dalam setiap aspek, termasuk sepak bola.
Kemerdekaan Indonesia diperjuangkan oleh pribumi dengan semangat dan jiwa ksatria. Jika sepak bola Indonesia ingin mendunia dan tampil di Piala Dunia dengan penuh kebanggaan, maka semangat nasionalisme harus tetap menjadi fondasi utama. Kita harus mengingat perjuangan para pahlawan yang mengorbankan segalanya demi kemerdekaan bangsa ini.
Bukan berarti naturalisasi adalah sesuatu yang salah atau benar secara mutlak. Namun, kita perlu menelaah kembali bagaimana nasionalisme dapat tetap dijaga, terutama ketika berada di luar negeri. Meskipun pemain naturalisasi menyanyikan lagu “Indonesia Raya,” makna perjuangan bisa terkikis jika kehadiran mereka hanya menjadi euforia semata dan berpotensi menghilangkan identitas pribumi asli dalam tim nasional.
Dilema ini memang kompleks. Di satu sisi, nama besar bangsa harus tetap harum di kancah internasional, tetapi di sisi lain, nasionalisme juga perlu diprioritaskan dalam dunia olahraga, khususnya sepak bola. Kita bisa membayangkan Indonesia sejajar dengan negara-negara besar seperti di Eropa, Amerika, dan Australia dalam kompetisi sepak bola dunia. Namun, yang lebih penting adalah bagaimana Indonesia tetap menjaga watak dan kemurnian pribuminya agar semangat keindonesiaan tetap menyala dan menginspirasi bangsa-bangsa lain.[]
*) Penulis adalah Ketua Bina Hukum dan Politik Syarikat Islam Kota Tual








